Keindahan tenun Nusa Tenggara
Timur (NTT) dan songket Bali sudah tidak diragukan lagi. Pesonanya
begitu kuat hingga cantik digunakan untuk segala kebutuhan, mulai busana
dan desain interior. Dan perancang busana Stephanus Hamy mengolahnya
menjadi busana kasual dan semi formal.
Pesona kain Indonesia memikat siapapun yang melihat. Sebagai kain,
tenun NTT dan songket Bali juga bisa diolah menjadi beragam hal, mulai
kain untuk desian interior, hingga busana kasual dan formal. Salah satu
perancang busana yang konsisten mengolah tenun NTT dan songket Bali
adalah Stephanus Hamy. Koleksi berbahan tenun dan songket terbarunya
diperagakan di Pondok Indah Mal Fashiontastic 2013, baru-baru ini.
Sesuai tema yang diusung pekan mode tersebut, EtnoNesia’, Hamy
menampilkan deretan baju kasual yang menggunakan bahan dari macam-macam
jenis tenun NTT dan songket Bali. Koleksi tenun yang dihadirkan pada
ajang Pondok Indah Mall Fashiontastic 2013 ‘EtnoNesia’ itu semakin
mempertajam kepiawaiannya dalam mengangkat kain-kain tradisional menjadi
busana-busana yang cantik dan menawan.
Hamy menampilkan sekitar 32 stel rancangan khusus wanita yang terdiri
atas celana kulot, celana jodpur, celana panjang, jacket, rok overlap.
Dia juga tetap menampilkan ciri khasnya yaitu busana berdetail lipit
(pleats).
Perancang yang juga telah mengembangkan potensinya dengan menciptakan
busana yang terbuat dari berbagai wastra Indonesia seperti batik, tenun
ikat, tie dye, songket dan banyak lagi, memadupadankan koleksinya yang
dikombinasikan dengan lurik atau polosan.
Agar tak bosan, koleksi Hamy yang terlihat didominasi oleh
warna-warna tanah, juga diselipi warna-warna cerah seperti merah,
kuning, dan hijau daun. Koleksi tersebut merupakan koleksi yang dapat
digunakan untuk berbagai kesempatan bagi fashionista Tanah Air.
Siap Pakai
Stephanus Hamy menuturkan, koleksinya memang bukan sekadar fashion
Indonesia yang extravaganza, tapi lebih fashion yang membumi. “Koleksi
ini bisa dipakai untuk sehari-hari,’ ujar dia kepada Investor Daily di
Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mari kita lihat koleksi Hamy. Dari selembar tenun ia membuat celana
panjang, celana 7/8, rok, blus, hingga blazer. Semuanya busana ready to
wear, untuk acara formal maupun semi formal.
Karya Hamy ini membuka mata kita, bahwa kain tenun, khususnya tenun
NTT bisa di’sulap’ menjadi busana siap pakai untuk kegiatan sehari-hari,
seperti busana kerja, busana semi formal, hingga kasual. Sebelumnya,
orang mungkin berpikir, tenun hanya bisa dijadikan kain, tidak untuk
diolah menjadi baju.
Koleksi Stephanus Hamy umumnya ditujukan bagi perempuan matang, di
atas usia 35 tahun. “Saya mencoba membuat busana wanita yang selama ini
jarang dilihat orang, karena desainer kebanyakan membuat busana untuk
perempuan muda,” kata Hamy.
Tak Sama
Tapi yang lebih menarik disimak adalah, selembar kain tenun yang
membentuk busana itu menyimpan sebuah cerita panjang. Hamy menuturkan,
ia sudah delapan tahun berkeliling NTT untuk mencari kain tenun dan
mengolahnya menjadi busana. Dia memulainya dari Sumba, lalu ke Timor,
Flores, hingga Manggarai. Total delapan daerah di NTT telah
disambanginya.
“Bersamaan dengan vote Komodo, kita lihat potensi NTT sangat kuat sekali untuk digali, termasuk kain tenunnya,” ujar Hamy.
Uniknya, kata Hamy, delapan daerah itu memiliki motif tenun berbeda.
“Kadang-kadang dua kampung pun memiliki motif berbeda,” ungkap dia. Hal
ini, kata Hamy, disebabkan karena tak ada satupun teknik yang sama.
Mereka juga tidak pernah mencatatkan atau mewariskan teknik menenun
kepada turunannya. Setiap orang, bisa memiliki teknik berbeda. “Karena
itu, tak ada kain tenun NTT yang sama persis satu sama lain,” tuturnya.
Menariknya lagi, lanjut Hamy, setiap karya tenun memiliki ciri khas
yang sangat personal. Meski dibuat oleh orang yang sama, hasilnya
berbeda bila mood-nya berbeda saat menenun. “Jadi bisa dibilang, tak ada
tenun NTT yang sama persis satu sama lain. Ini yang membuat saya tak
henti-hentinya terpukau tenun NTT,” kata Hamy
Dulu, lanjut Hamy, kain tenun NTT selalu tebal. Itu karena memakai
benang dari kapas yang dipilin. Tapi kini, kain tenun NTT tak selalu
tebal, karena menggunakan benang pabrik. Kain yang lebih tipis, jelas
lebih memungkinkan untuk diolah menjadi barang fashion, seperti busana.
Meski begitu, pasar Jepang masih menyukai kain tenun yang tebal.
Warna kain tenun NTT pun kini bisa mengikuti fashion. Warna gelap
umumnya berasal dari daerah Sumba dan Pulau Rote. Sedangkan warna kain
yang lebih terang berasal dari Flores.
Begitu pun dengan motifnya. Bahkan, kepada penenun di sana, Hamy
meminta untuk me-relay out motif-motif sesuai perkembangan fashion. Tapi
ini pun agak sulit, karena kendala bahasa. “Banyak yang tidak bisa
bahasa Indonesia. Menggunakan penerjemah pun hasilnya belum tentu jadi
seperti yang saya inginkan,” sesal dia.
Hamy berpesan, saat menggunakannya untuk membuat busana, sebaiknya
jangan ada bagian kain yang terbuang. Maklumlah, kain tenun ini begitu
berharga nilainya. Proses membuat selembar kain membutuhkan waktu lama.
Untuk pencelupan benang ke pewarna saja bisa sampai dua bulan, belum
waktu menenunnya.
Para perajin, yang umumnya perempuan, membuatnya dengan soul
menggunakan alat bernama gedok. Sambil memasak di dapur atau memberi
makan ternak, mereka menenunnya.
Bila mereka bekerja selama 5-6 jam sehari, dalam sebulan bisa selesai
satu lembar kain berukuran 70-80 cm atau sepanjang tangan mereka.
Sedangkan penenun laki-laki bisa menenun lebih panjang, 90 cm. Biasanya,
kain tersebut disimpan atau ditabung sebagai mas kawin anaknya kelak.
Dengan teknik pembuatan seperti itu, jelaslah kain tenun NTT belum
bisa diproduksi secara massal. Untuk strategi menghasilkan kain tenun
dalam jumlah banyak, Hamy serius mencari penenun dari generasi muda yang
serius menenun. Artinya, pekerjaan menenun tidak diselingi dengan
pekerjaan rumah tangga, seperti memasak atau memberi makan ternak. “Tapi
ternyata jumlah penenun yang serius belum banyak,” keluhnya.
Padahal, kata Hamy, bila mereka serius, ini bisa mengangkat kondisi
perekonomian mereka yang umumnya masih hidup miskin. Untuk diketahui,
selembar kain tenun NTT harganya mencapai Rp2-8 juta, tergantung
kualitas tenun, detail, dan teknik menenunnya
Sumber: beritasatu.com
dengan kekayaan budaya di indonesia, itulah yang ditujukan masyarakt NTT untuk indonesia agar semakin kuat kebudayannya. Pertahankan Generasi Selanjutnya!!!
BalasHapus