Sabtu kemarin akhirnya saya menonton juga film yang sedang happening
beberapa waktu ini, Habibie & Ainun. Awalnya saya tidak berniat
menonton film itu karena testimoni dari teman-teman yang sudah menonton
adalah seputaran ‘romantis’, ’menangis’, ataupun ‘haru’. Saya lebih suka
film yang menimbulkan motivasi, walaupun disisi lain saya juga
mengagumi sosok Pak Habibie.
Singkat cerita duduklah saya kursi bioskop, dan perlahan tapi pasti terbawalah saya dengan alur ceritanya.
Tema utama di film itu memang kisah cinta, tapi ternyata tidak
secengeng yang saya bayangkan malah banyak juga sisi perjuangan yang
diangkat, untuk mewujudkan mimpi “membuat pesawat terbang sendiri”
Dari film tersebut saya jadi punya gambaran mengenai bagaimana
perjuangan Pak Habibie dalam mewujudkan janjinya pada Indonesia untuk
membuat pesawat terbang hasil karya anak negeri.
Kemudian saya jadi tertarik untuk membahas ini, dari sudut pandang entrepreneurship dan technology management.
Kebetulan saya pernah diajar oleh salah seorang karyawan PT.
Dirgantara Indonesia yang dulu bernama Industri Pesawat Terbang
Indonesia (IPTN), beliau bernama Pak Hariadi yang saya tau beliau juga
mengagumi Pak Habibie. Ketika itu beliau mengajarkan mengenai modul Entrepreneurial Process.
Diantara pengertian Entrepreneurship secara luas adalah create something for nothing. Pak
Habibie termasuk dalam kategori ini, membuat pesawat terbang yang
semula belum ada menjadi ada. Mungkin saat itu terlihat seperti sekedar
khayalan tingkat tinggi ataupun mimpi yang terlalu muluk bagi sebagian
besar orang.
Namun sejarah mencatat bahwa beliau berhasil mewujudkannya. Menunjukkan pada dunia bahwa pesawat N250 berhasil melakukan first flight pada 1995, sebuah pesawat kecil yang didesain sesuai dengan geografis Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau.
Menariknya adalah yang terjadi setelah itu, pesawat yang sempat
mengekspresikan masa depan bangsa Indonesia itu akhirnya terhambat
proses produksinya, bukan karena kualitasnya yang buruk, N250 adalah
pesawat canggih, namun karena kondisi ekonomi yang buruk saat itu
ditambah lagi kebijakan yang diambil tidak berpihak pada IPTN.
Padahal, menurut teori yang saya pelajari dari buku Management of Technology, the key to competitiveness and wealth creation,
bahwa salah satu cara melihat negara tersebut maju atau tidak adalah
dari bagaimana penggunaan teknologi di negara tersebut untuk menciptakan
kesejahteraan bagi warganya. Sebaliknya, less developed economies are identified with countries lacking the technological know how necessary to create wealth.
Sepertinya Pak Habibie paham betul mengenai hal itu.
Mungkin sebagian dari kita sempat mengenal istilah Indonesia sebagai
Macan Asia. Itu benar adanya. Indonesia pada akhir tahun 80an dan awal
90an termasuk dalam golongan Asian Tiger bersama Korea, Taiwan, Malaysia dan China. Asian Tiger
adalah sebutan dari masyarakat global terhadap negara-negara di Asia
yang memiliki pertumbuhan baik dan berpotensi menjadi negara maju.
Salah satu momentumnya, adalah ketika Indonesia berhasil membuat
pesawat terbang sendiri, padahal industri pesawat terbang adalah
industri yang menggunakan teknologi tinggi (hi-tech) dengan kompleksitas dalam prosesnya, namun Indonesia lewat IPTN bisa memproduksinya. Itu adalah hal yang luar biasa.
Masih dari buku yang sama, ada salah satu sub bab yang menarik perhatian saya, judulnya the fall of the tigers, dijelaskan
bagaimana negara-negara tersebut akhirnya jatuh terpuruk, karena
beberapa faktor diantaranya adalah krisis ekonomi akibat kegagalan
sistem finansial. Faktor lainnya adalah krisis pendidikan, dimana sistem
pendidikan yang ada tidak berhasil mengembangkan kreativitas, berpikir
mandiri ataupun berinovasi. Kemampuan itu nantinya digunakan untuk
menghadapi dunia yang sedang berubah, yang ini terjadi di Thailand,
Malaysia, dan Indonesia.
Di akhir film, ada scene dimana pak Habibie menangis di depan pesawat
N250 yang terbengkalai dan berdebu, dihadapan Bu Ainun beliau berkata:
“Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000
pulau, dan pesawat ini kita buat sendiri, untuk menghubungkan antar
pulau tersebut, bayangkan pertumbuhan dan infrastruktur yang dapat
berkembang..
tapi, mereka tidak mau mengerti,”
tapi, mereka tidak mau mengerti,”
Negara yang termasuk Asian Tiger yang saya sebutkan diatas,
setelah jatuh dalam krisis, ada beberapa negara yang berhasil keluar
dari krisis tersebut. Diantaranya Taiwan, Korea Selatan, juga Malaysia.
Mereka menyadari betul bahwa syarat untuk menjadi bangsa yang maju salah
satunya adalah pada penguasaan terhadap teknologi. Bukan teknologi user, tapi teknologi innovator. Bangsa pencipta teknologi.
Sebut saja Malaysia dengan perusahaan mobil Proton nya, Taiwan dengan
Acer dan Asus nya, juga Korea Selatan dengan Samsung, LG, ataupun
Hyundai nya.
Lalu mengapa itu tidak terjadi di Indonesia?
Dari diskusi dengan beberapa dosen, sebenarnya kita pernah punya momentum itu.
Melalui perusahaan mobil Timor untuk transportasi darat, PT. PAL
untuk transportasi laut, dan juga perusahaan pesawat terbang melalui
IPTN. Namun karena krisis global, rendahnya dukungan dari pemerintah dan
juga intervensi asing, hingga akhirnya kita kehilangan momentum itu.
Sekarang, belum lagi terlihat ada langkah untuk mengembalikan momentum itu.
Sekarang dengan jumlah penduduk yang besar dan pendapatan perkapita
yang mendekati $3.000, negara ini menjadi pasar yang sangat potensial
untuk menjual barang-barang Hi-Tech.
Pertanyaannya apakah kita hanya akan menjadi penonton? dan membiarkan orang lain berpesta di kebun kita??
Kembali pada cerita di film, ada satu scene di mana ada dua orang
wartawan yang sedang ngobrol santai, setengah bercanda dengan mengatakan
bahwa pesawat Indonesia ketika lewat di zona perang tidak perlu
ditembak, karena akan jatuh sendiri. Pak Habibie mendengar lansung
percakapan itu, namun beliau memilih untuk diam dan tidak menanggapi.
Hal lainnya yang juga penting adalah, bangsa ini belum siap berpikir
besar. Ini yang sulit. Ketika anak bangsa berhasil membuat suatu
teknologi atau prestasi, kebijakan yang diambil tidak mendukung
pengembangan teknologi tersebut, belum lagi cibiran dari orang-orang
yang sebenarnya tidak mengerti.
Padahal dunia memandang besar bangsa Indonesia, ini dibuktikan dengan masuknya Indonesia dalam golongan Asian Tiger,
namun ketika akhirnya Indonesia berhasil menoreh prestasi dengan
membuat pesawat sendiri, malah tekanan paling besar datangnya dari dalam
negeri. Berpikir kecil dan pesimisme itu, akhirnya menghancurkan
segalanya.
Di buku jejak pemikiran Habibie, beliau pernah mendapat apresiasi
dari Jack Welch, CEO dari General Electric yang juga menjadi salah satu
CEO terbaik dunia, kurang lebih seperti ini komentarnya:
“Amerika ketika berhasil membawa manusia ke bulan adalah hal yang
biasa, karena memang masyarakat disana sudah maju. Namun apa yang anda
lakukan disini lebih hebat dari itu, karena anda berhasil membuat
pesawat terbang disaat masih ada tukang becak di negara anda.”
Suatu saat bangsa ini pasti menjadi bangsa yang besar. semoga kita termasuk yang ambil bagian di dalamnya.
and to start it,
lets think big enough ..
lets think big enough ..
(http://saladinafdil.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar